Meneropong Ayat-ayat Cinta

Ditulis oleh: Ummu Abdirrahman

Novel Ayat-Ayat Cinta, seperti layaknya wabah, tengah menyerang siapa saja. Novel ini sangat digandrungi, dan gemanya begitu “membumi”. Banyak kalangan antusias mengomentari kehadirannya. Apalagi “sisi religius” banyak diungkap di novel ini.

Akan tetapi, benarkah novel ini begitu “religius” sebagaimana yang disangka orang? Tak dipungkiri, novel ini memanjakan pembacanya dengan banyak simbol iman dan ketaatan yang terasa kuat. Nah, justru hal inilah yang membuat banyak dari kita lengah dan “kecolongan”. Lho, kok bisa?

SEBERAPA “AMANKAH” AYAT-AYAT CINTA?

Novel fiksi Ayat-Ayat Cinta tengah membius masyarakat kita. Fenomena ini kemudian diiringi dengan diangkatnya novel ini ke layar lebar, makin boominglah Ayat-Ayat Cinta, apalagi orang kadang menjulukinya novel dan film religius, paling religius, untuk saat ini. Inilah masalahnya.

Hal ini justru mendatangkan permasalahan yang tak bisa dibilang ringan. Sebab bisa menggiring kita untuk melegalkan hal yang sebelumnya dianggap tabu. Bukannya menganggap novel ini tak berisi hikmah dan makna, atau sama sekali tak mengandung pelajaran dan faidah. Tapi menyandingkan 2 hal, yang hak dan batil dalam satu wadah inilah yang patut disayangkan. Begitu pula novel ini.

Untuk Habiburrahman yang notabene sarjana Jebolan Al-Azhar, tentu tahu betul syariat. Misalnya; tokoh Fahri yang dilukiskan mumpuni ilmu agamanya dan religius –dalam arti ia paham ilmu agama– menghadiri acara ulang tahun. Satu hal yang seharusnya tak terjadi, apa pun alasannya. Sebab budaya ulang tahun tak sesuai dengan ajaran Islam dan itu di luar konsep din mulia ini. Sebab dengan tegas Rasulullah melarang kita untuk meniru atau mengikuti perbuatan dan kebiasaan orang-orang kafir.

Rasulullah n bersabda,

“Barangsiapa menyerupai atau meniru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”

Islam jelas berbeda. Jika ulang tahun bukan suatu yang haram tentu Rasulullah n telah mencontohkannya. Namun pada kenyataannya Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tak satu pun yang melakukannya. Dan tentunya penulis tahu, ulang tahun mengandung unsur foya-foya dan menghamburkan harta untuk sesuatu yang tak bermanfaat. Padahal Islam mengajarkan untuk hidup sederhana dan tidak isyraf (berlebihan).

“….. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)

Allah juga berfirman,

“Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (Al-Isra’: 27)

Orang-orang yang masih awam tentu akan menganggap ulang tahun sesuatu hal yang sah-sah saja untuk dilakukan, begitu juga halnya melihat drama opera, atau pertunjukan musik/nasyid. Tak ada maksud menghilangkan niat baik novel ini ditulis, tapi ini menyangkut sesuatu yang bersifat baku. Sebagaimana diungkapkan Ibnu Mas’ud:

Berapa banyak orang berniat baik tetapi tidak mendapatkan kebaikan tersebut.”

(Riwayat Ad-Darimi dalam Sunannya nomor 210, dishahihkan oleh Al-Albani)

Akan sangat kasihan jika kita bakal menyaksikan banyak orang menjadi kecolongan karena hal ini. Belum lagi jika nonton filmnya, yang lebih banyak pelanggaran syariat di dalamnya. Kalau benar-benar tak waspada bakal makin panjang “korbannya”. Jadi tak ada salahnya kalau kita mengukur seberapa “amankah” Ayat-Ayat Cinta untuk dibaca dan ditonton?

CERITA FIKSI DALAM KACAMATA ISLAM

Menyoal novel atau filmnya yang katanya sangat bagus, membangun, menyentuh dan segudang pujian, itu soal lain. Lalu bagaimana Islam memandang hal ini (kisah fiksi, novel, film dan sejenisnya) meski dapat membantu dan mendatangkan manfaat?

Seperti kita tahu, akhir-akhir ini di tengah masyarakat kita banyak bermunculan buku-buku yang berisi cerita fiksi, cerita pendek, ataupun novel berlabel “Islam”. Buku-buku seperti ini dijual dan dapat dikonsumsi secara bebas oleh berbagai kalangan. Bermunculan pula film-film ataupun sinetron berlabel islami yang banyak diangkat dari buku-buku atau cerita rekaan.

Mengutip penjelasan dari Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan mengenai hal ini (silahkan lihat rubrik “nasihat ulama” edisi ini), beliau menegaskan bahwa kisah-kisah fiksi seperti ini termasuk kedustaan yang hanya menghabiskan waktu si penulis dan pembaca tanpa memberi manfaat. Jadi lebih baik seseorang tidak menyibukkan diri dengan perkara ini. Hukumnya haram, jika kegiatan menulis dan membaca kisah fiksi ini membuat kita lalai dari perkara yang hukumnya wajib. Beliau menambahkan, dan bila kegiatan ini melalaikan seseorang dari perkara yang hukumnya sunnah maka kegiatan ini menjadi makruh. Beliau menegaskan, dalam setiap kondisi, waktu bagi seorang muslim sangatlah berharga, jadi bagi dirinya tidak boleh untuk menghabiskan waktu demi perkara yang sia-sia dan tak ada manfaatnya.

Fatwa beliau yang lain menyoroti masalah hukum sandiwara/film serta nasyid-nasyid islami. Beliau mengatakan tidak boleh, sebab sandiwara melalaikan orang yang menyaksikan, ada unsur peniruan individu, dan meremehkan yang ditiru, dan yang berbahaya adalah meniru pribadi orang kafir. Dakwah dengan cara ini dilarang karena tidak ada contoh dari Rasulullah, merupakan perkara negatif dan tidak ada faidahnya sedikit pun.

Fenomena munculnya buku-buku, majalah-majalah yang tidak mendidik, kaset video dan nyanyian/nasyid, sangat perhatian terhadap acara film, sinetron dan sebagainya memberi dampak baru berupa merebaknya fenomena i’jab (sikap mengidolakan). Seperti inilah yang kita alami saat ini, dan hal ini dapat sangat kita rasakan. Novel, film juga tokoh Ayat-Ayat Cinta telah membuat hati banyak orang terbius mengidolakannya. Bahkan kadang terasa berlebihan, kesenangan dan kecintaan seperti ini tidak diperbolehkan karena membuat hati seseorang lalai dan bergantung pada selain Allah.

TAK ADA GADING YANG TAK RETAK

Sebenarnya ada hal-hal menarik dalam novel ini. Seperti permasalahan hidayah dan poligami. Poligami adalah satu hal yang banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita dan itu bukan hal aneh, tapi orang masih banyak menganggap miring keberadaannya.

Novel ini bisa dikatakan “berhasil” mengusung masalah poligami. Poligami yang masih jadi pro dan kontra, terasa hikmahnya di novel ini. Tak ada kesan poligami itu menyakitkan dan menakutkan, apalagi menzhalimi wanita. Penulis bisa meyakinkan pembaca, bahwa poligami jika dilakukan sesuai aturan syar’i justru bisa mendatangkan manfaat dan kebaikan yang lebih banyak.

Tak kalah menarik, ketika Habiburrahman menyentil kita dengan seorang Maria. Seorang non muslim yang justru hafal beberapa surat dalam al-Quran. Ini mengusik. Sebab kadang sebagai muslim kita belum tentu bisa melakukannya tanpa tekad yang kuat.

Permasalahan hidayah atas seseorang juga turut menghangatkan karya ikhwan yang pernah nyantri di kota wali ini. Hidayah dan pemahaman yang benar atas dien mulia ini berasal dari Allah l. Hidayah itu bisa datang dan pergi atas kehendak-Nya. Bisa saja seseorang menjadi muslim di pagi hari, tapi menjadi kafir di sore hari. Sebaliknya seorang kafir di sore hari, bisa pula ia mendapati dirinya menjadi muslim di pagi hari.

Meski novel ini tampak “Mengusung Islam”, yang perlu dicatat kisah di dalamnya hanyalah fiktif dan rekaan belaka. Ada yang lebih layak kita idolakan dan teladani, dari sekadar tokoh dan kisah fiksi. Teladan sempurna tiada dua, Rasulullah n, juga teladan dan hikmah dari kisah sahabat-sahabat dan orang-orang shalih. Memang tak ada gading yang tak retak. Tanpa mengurangi rasa hormat, tanpa maksud tak menghargai sebuah karya, akan terasa lebih banyak manfaatnya kalau saja yang ditulis adalah buku yang lahir dari ilmu yang haq di atas ketegaran syariat. Insyaallah, akan lebih berguna dan berkah.

Bukan sekadar novel dan kisah fiksi yang telah jelas hukumnya.

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 71)

Disadur dari: http://www.majalah-nikah.com

~ oleh abumochas pada September 17, 2008.

8 Tanggapan to “Meneropong Ayat-ayat Cinta”

  1. Ironisnya yg dijadikan kebanggaan adalah cerita2 fiktif 😦

  2. iya setuju,,,malah banyak ikhwan dan akhwat yang nonton film itu ke bioskop tanpa rasa malu pada Allah….miris…karena dianggap baik dan wajar..alhamdulillah..hingga detik ini ana ga tertatik buat nonton dan ana ga beli bukunya..mending duitnya ana gunain buat beli buku sunnah. semoga Allah meneguhkan hati ana. amin

  3. Assalamu’alaikum Mas Annas…
    Kaif yaa ikhwan.. ^_^

    wah…munteps..setahuku lumayan banyak dari novel AAC ini yg bukan ajaran islam mas..ups tunggu dulu…mas Anas udah baca belum? (hi..hi..hi.. ^_^)

    masa pernikahan HARUS diikat dengan cincin? “tasyabbuh fil kuffar” / menyerupai perilaku orang2 kafir…

    bukan begitu Mas …?

    (CMIIW / Correct Me If I Wrong ^_^)

  4. 😀
    assalamualaikum., kapan Mas Annas mau nikah?
    pertanyaan yang simpel dan tak usah dijawab.

  5. Ayat-ayat cinta dah lewat, Gimana ntar comment buat Ketika Cinta bertasbih :).
    Banyak sharing, banyak ilmu, banyak khazanah perspektif, alhamdulillah. Jzklh

  6. Assalaamu’alaykum, Apa yang dituntunkan oleh Nabi Sholallohu’alayhi wasallam maka ambillah dan pegang erat2. Jangan ikut2an (taqlid) dalam beragama.

  7. Assalamu Alaikum..
    Zaman sekarang, segala sesuatu yang dibalut dengan menggunakan kata “cinta” pasti bakal laku!

    Mudah-mudahan kita termasuk orang yang bisa memfilter jiwa kita masing-masing. Amin.

    Cara bergabung di komunitas dengen.mysorowako.com gimana??
    please infonya di pramukapribumi@gmail.com

  8. Teladanilah hal yang baik saja.Salam persahabatan

Tinggalkan Balasan ke muhammad idris Batalkan balasan